Failure

30 12 2008

I was randomly reading some National Geographic (US edition) magazine back issues, when I found two very different meaning of failure.

The first failure I found was in an article titled ‘The God Particle’ from NG March 2008: “Many people at CERN are hoping they’ll get more than just answers: They’d like to uncover some new mysteries. John Ellis confided that he wouldn’t even mind if the LHC failed to find a Higgs. “Many of us theorists would find that failure much more interesting than if we just find another boring old particle that some theorists predicted 45 years ago.””

The second one I found was from April 2008 issue, in an article called The Sahel. One of the caption of its picture said: “Chad. A sudden downpour drenches women near Abeche during the rainy season. Changing climate has already brought the Sahel not only drier weather but also rains that fall too heavily, too early, or too late: In September 2007 floods inundated the normally parched region. As they have for centuries, the Sahel people are finding ways to adapt in a land so uncompromising that failure means death.”

Failure come and go in my life yet I never really think about it as I always think it is part of a normal human circle. It is, indeed.

When I read those two articles I think about how close yet different our  little earth is. In the north people throw millions to build a big pipe across the border of two countries for the sake of knowledge, failure means a new way to learn some more fascinating things. Meanwhile in the south where people is literally have nothing failure means a lost for another soul, adding up a tally in the statistics, or maybe there’s no statistics about it, since no one bother.





Mari Berpetualang

14 12 2008

Saya merasa, saya ini bukan orang yang religius. Memenuhi kewajiban saya yang lima saja sering saya pepet-pepetkan. Ibarat main sepakbola, saya tunggu sampai injury time, supaya penonton terhenyak. Padahal bukannya lebih seru kalau golnya sudah diawal? 

Anyway, beberapa waktu ini saya tinggal di daerah yang menganut nilai-nilai yang berbeda dengan tempat saya dibesarkan. Di kampung saya dulu, orang main judi sembunyi-sembunyi. Orang nonton bokep, amit-amit jangan orang lain denger. Orang minum minuman keras? Wah bisa jadi skandal jepit kalau ketahuan. Munafik ya sepertinya?

Lain kalau didaerah tempat saya tinggal sekarang. Bookmakers (ini bukan tukang bikin atau njilid buku lho yaaaa-red) bertebaran di setiap sudut. Adult stores sangat mudah diakses. Dan minuman beralkohol gampang ditemui. Semuanya serba terbuka dan ada peraturannya. Nampaknya fair ya?

Sering saya melamun… kenapa? Kenapa dengan keterbukaan ini semuanya jadi lebih teratur? Kenapa di kampung saya yang sebenarnya nilai-nilai tersebut sudah diatur tapi tetap dilanggar dan malah menyebabkan munculnya manusia-manusia yang (terpaksa?) munafik?

Kenapa kita tidak menggunakan akal sehat saja? Pakai saja nilai-nilai universal. Pasti semua pihak senang.

Well, saya lupa. Pedoman hidup saya ternyata sudah memberikan cheat, tidak hanya membedakan baik dan buruk, benar dan salah, namun juga amar ma’ruf nahi munkar. Mendekati hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Bagi saya, menjatuhkan pilihan bahwa yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk saja masih merupakan tantangan besar. Karena dunia ini penuh warna. Bukan hanya hitam dan putih. Saya tahu saya sudah dibekali sensor olehNya, sayangnya sering saya abaikan sensor saya itu. (Wah, jangan sampai sensor saya mutung dan tidak mau membunyikan alarm lagi di lain waktu.) Nah, kalau mendekati saja sudah enggak, berarti tugas saya lebih gampang dong ya, lha saya jadi enggak perlu memilih jalan lagi.

Jadi ingat, beberapa tahun yang lalu saya baru tahu bahwa minuman beralkohol secara ilmiah terbukti memiliki kandungan antioksidan dan kawan-kawannya yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Bahkan para ilmuwan pun menganjurkan minum-minuman ini secara moderate untuk menjaga kesehatan; walaupun semuanya juga tidak menyarankan untuk mengkonsumsinya (susah ya, bikin bingung aja). Ahaaaa… Gotcha. Tuhan saya sudah berfirman lebih dari 1400 tahun yang lalu, bahwa si minuman ini lebih besar mudharatnya dari pada manfaatnya. Dia menjawab pertanyaan dengan jawaban yang lebih dalam. 

Kalau diibaratkan main game, saya masih dalam level pemula. Tapi bukan berarti saya enggak boleh berpartisipasi dalam game petualangan ini kan? Dalam game ini saya bertemu dengan senior-senior yang sudah memegang peta dan lampu tapi enggan mengajak saya, mungkin karena saya masih pupuk bawang, tidak akan mampu membantunya menuju next level. Untungnya, tidak sedikit pemain lain yang dengan senang hati berbagi tips: hati-hati di sana jalannya berlumpur, di situ lampunya belum dipasang, di sebelah sono jembatannya belum jadi; padahal mereka sendiri belum memegang peta yang utuh.

Seru sekali ya petualangan hidup saya ini? Ngomong-ngomong adakah yang sudah pegang peta?